Sebagaimana ilmuan pada umumnya--bahkan kelompok menengah terdidik saat ini--memiliki kecenderungan umum yang
sama dalam menyikapi soal-soal yang berkaitan dengan politik. Aktivitas politik
tidak lebih dari ketrampilan mengambil manfaat pribadi atas kegiatan sosial
yang dilakoninya. Manfaat pribadi tersebut kebanyakan diperoleh secara instan
dan bersifat jangka pendek. Bagaimana meraih kursi di parlemen; menjadi kepala
daerah; maupun pejabat pusat, merupakan sederet tujuan akhir dari mereka yang senang
dengan (aktivitas) politik. Tidak peduli dengan manfaat yang dapat mereka
berikan bagi masyarakat maupun peradaban manusia. Masa depan dunia seperti
tengah berada dalam cengkraman kapitalisme global, sebagaimana yang ditulis Fukuyama
dalam The end of History, bahwa
pertarungan di awal abad 21 dimenangkan kapitalisme yang ditandai dengan
gelombang demokratisasi di hampir seluruh belahan negara-negara Amerika Latin
dan Asia. Soviet yang mewakili kutub sosialisme tunduk terhadap gerakan Glassnot dan Prestorika bertemakan keterbukaan
dan partisipasi publik. Singkat kata, kapitalisme—dalam pengertian sempit
tentunya—telah membentuk persepsi dan cara pandang masyarakat dunia abad ini.
Di sisi lain, terdapat segelintir
ilmuan baik melalui kesadaran intelektual maupun atas dasar kemanusiaan telah
menunjukkan jatidiri mereka melalui pandangan dan aksi nyata di lapangan.
Dengan menyebut beberapa diantara mereka, seperti Avram Noam Chomsky, Muhammad
Abduh, Muhammad Yunus dan beberapa orang lainnya dalam abad ini, memiliki andil
besar dalam bidang pemikiran maupun aksi sosial dalam membangun peradaban dunia. Dengan posisi filsafat (epistimology)
yang berbeda, kita seakan diberi harapan besar (melalui pandangan mereka) dalam
memperjuangkan masa depan dunia kearah yang lebih baik lagi. Kritikan yang dilontarkan
Chomsky terhadap kebijakan politik luar negeri USA melalui karya ilmiah tentang
linguistik, politik, hingga kumpulan kuliah, wawancara dan esainya,
menggambarkan otokritik seorang warga negara USA yang bereputasi tinggi. Muhammad
Abduh dengan pandangan-pandangan sufistik yang fleksibel melalui puisi, merubah
cara pandang umat Islam yang relatif kaku (halal-haram; surga-neraka; dan
sebagainya). Seakan menurutnya, Islam harus menjadi nilai, menjadi rahmat bagi
sekalian alam. Ungkapannya tentang nilai-nilai keislaman yang ia temukan di
negara-negara Barat, seperti tertib sosial, kesadaran berbagi antarsesama dan
perilaku yang beradab (civilized)
dibandingkan kondisi Timur Tengah yang relatif penuh dengan intrik dan
sekularis, memberikan kesadaran transedental yang hakiki. Selanjutnya, Muhammad
Yunus melalui Gramming Bank memodifkasi prinsip-prinsip dan implementasi
pemikiran kapitalistik dalam kegiatan perbankan di Bangladesh. Kapitalisme di
tangannya, sepertinya menyatu dengan sistem nilai yang dianut masyarakat
setempat, terutama dalam mengelola ekonomi rumah tangga. Sungguh sebuah
sinergi yang positif dalam membangun perekonomian dunia.
Atas dasar kenyataan tersebut,
setidaknya terdapat tiga hal penting yang dapat kita simpulkan. Pertama, tidak semua warga negara USA,
memiliki pandangan yang sama dengan kebijakan pemerintahannya. Politik luar
negeri berdimensi sumberdaya minyak dan nilai keagamaan (yang bersifat
simbolik/permukaan saja) telah merusak tatanan politik ekonomi dunia. Seruan
kepada asosiasi negara dunia (yang dimotori USA) mesti mempertimbangkan kondisi
negara maju dan negara dunia ketiga termasuk penciptaan subordinasi terhadap
negara-negara berkembang dalam perangkap metropolis-periferial.
Kedua, agama
sebagai the rule of live mesti
dipraktekkan secara substansial oleh penganutnya. Wajahnya yang penuh dengan
kekerasan, doktrin-doktrin sepihak atas dasar jihad dapat ditransformasikan
kedalam dialog antarsesama pemeluknya. Di Indonesia, partai-partai berlabel
agama dan keinginan menjadikan agama sebagai dasar negara misalnya, hingga kini
kehilangan substansinya. Ia (agama) tidak lebih merupakan sarana legitimasi
atau saluran distribusi para elit menuju tampuk kekuasaan. Di masa depan, Islam
nilai-lah yang akan bertahan, dan bukan Islam lembaga.
Ketiga, Kapitalisme
dan sosialisme dalam konsepsinya tidak lebih dari konstruksi epistimologis
pendukungnya berdasarkan sumber nilai yang diyakininya. Pada bentuknya yang
nyata, kedua ideologi—dapat dikatakan sebagai fenomena alamiah—yang merupakan sesuatu
yang given; diperlukan sebagai
refleksi atas capaian kualitas kebijaksanaan seseorang. Kita dapat merasakan, bagaimana hidup individualistik itu menyiksa. Sebaliknya, sama
rasa-sama rata, pada taraf tertentu merusak tatanan kefitrahan manusia.
Keduanya dapat disinergikan laiknya bandul jam yang melenggang kekiri-kekanan,
pada akhirnya berhenti pada titik intinya. Kenyataan seperti ini, dengan fasih
telah diingatkan oleh pendiri (the
founding fathers) bangsa Indonesia, jauh sebelum Muhammad Yunus mendirikan Gramming Bank di Bangladesh dengan
kapitalisme yang disesuaikan (compatible)
dengan sistem nilai masyarakat setempat.
Kesadaran Kecendekiaan; Refleksi
Sintesis Gagasan Keilmuan
Kesadaran intelektual dipengaruhi
pengalaman dan kepedulian seseorang dimana mereka berasal. Kesadaran ini
memberi implikasi luas bagi kehidupan umat manusia, terutama terlihat dari
karya-karya ilmuan yang berguna bagi kehidupan manusia. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang dihasilkan para ilmuan di masa lalu,
bersinggungan dengan hasrat para penguasa untuk mencapai hegemoni di dunia
internasional.
Pada saat yang sama, Chomsky dalam
artikelnya banyak mengkritik peran para ilmuan USA dalam kegiatan politik luar
negeri negara tersebut. Meskipun secara positif, IPTEK telah memberikan manfaat
besar bagi kegiatan politik, namun di sisi lain, ia berubah menjadi
malapetaka bagi masyarakat dunia di belahan negara lainnya. Sifat dari IPTEK itu sendiri adalah bebas nilai (free value) dan tergantung motif dan orientasi penggunanya. Dalam
konteks ini, diperlukan suatu cara pandang baru dalam memanfaatkan perkembangan
IPTEK yang begitu cepatnya.
Cara pandang baru tersebut, berkaitan
dengan gugatan etis atas dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan IPTEK bagi
segelintir ataupun kelompok tertentu. Contoh yang paling mutakhir saat ini,
misalnya teori pertumbuhan ekonomi dan teori trickle down effect (penetesan kebwah) sebagai akibat dari
pemusatan kegiatan pemerintahan dan pembangunan (ekonomi) di suatu wilayah.
Khusus untuk teori pertumbuhan ekonomi, pada 32 tahun yang lalu diyakini betul
oleh Orde Baru (yang disokong ekonom Indonesia alumni Berkeley University)
sebagai satu-satunya cara ampuh membangun perekonomian Indonesia setelah
carut-marut politik dan kolapsnya perekonomian di masa Orde Lama. Investasi di
pulau Jawa difasilitasi oleh pemerintah (saat itu) termasuk menggunakan modal
asing (PMA) guna membiayai pembangunan ekonomi Indonesia. Singkat kata, dalam
perkembangannya, keyakinan politik ORBA tersebut melahirkan ketimpangan
pembangunan yang sangat lebar antara wilayah kawasan barat Indonesia (KBI) dan
kawasan timur Indonesia (KTI). Begitu juga dengan pemanfaatan modal
materialistik semata, dianggap dapat menciptakan akumulasi kapital bagi
perkembangan perekonomian negara. Dengan demikian, ketergantungan Indonesia
terhdap modal luar negeri sangatlah tinggi. Perekonomian Indonesia menjadi
sangat rentan dengan fluktuasi perkembangan ekonomi dunia.
Teori modal sosial menempatkan
dirinya sebagai cara pandang baru dalam mengatasi krisis capital yang dihadapi perekonomian. Teori ini, terutama di
negara-negara sedang berkembang, merefleksikan kemampuan masyarakat lokal menggunakan
nilai-nilai yang bersumber dari local
wisdom dan otoritas lokal, sebagai modal alternatif di tengah kebuntuan
tidak tersedianya modal material. Wilayah-wilayah yang terisolir dari
pusat-pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, hidup dalam kesahajaan dan
menjadikan saling percaya (trust)
diantara sesama serta kegotong-royongan sebagai strategi ampuh dalam bertahan
hidup (strategy livelihood system).
Pada gilirannya, keserakahan yang terefleksi dari kegiatan pembangunan
berorientasi pertumbuhan ekonomi semata—yang cenderung merusak lingkungan,
merusak kohesi sosial (individualistik), bahkan menghasilkan ketimpangan
ekonomi (pendapatan) yang lebar antarmasyarakat—dapat dieliminir. Teori ini,
setidaknya menghasilkan solusi baru di tengah kebuntuan (deadlock) aplikasi teori-teori pembangunan eropasentris dalam
dinamika pembangunan sosial ekonomi masyarakat lokal. Sampai pada titik ini,
IPTEK mengalami perkembangan yang luar biasa. Seakan memunculkan tesis baru
(antitesis), paradigma baru ini melahirkan keyakinan (untuk tidak dibilang
kebenaran) ilmiah baru dan menempatkan teori lama sebagai paradigma yang
keliru. Begitulah kira-kira dialektika konseptual IPTEK, selalu menghasilkan
dialektika seperti yang diyakini Thomas Kuhn.
Bogor, Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar