Senin, 31 Oktober 2016

Tanggungjawab Cendekiawan


Sebagaimana ilmuan pada umumnya--bahkan kelompok menengah terdidik saat ini--memiliki kecenderungan umum yang sama dalam menyikapi soal-soal yang berkaitan dengan politik. Aktivitas politik tidak lebih dari ketrampilan mengambil manfaat pribadi atas kegiatan sosial yang dilakoninya. Manfaat pribadi tersebut kebanyakan diperoleh secara instan dan bersifat jangka pendek. Bagaimana meraih kursi di parlemen; menjadi kepala daerah; maupun pejabat pusat, merupakan sederet tujuan akhir dari mereka yang senang dengan (aktivitas) politik. Tidak peduli dengan manfaat yang dapat mereka berikan bagi masyarakat maupun peradaban manusia. Masa depan dunia seperti tengah berada dalam cengkraman kapitalisme global, sebagaimana yang ditulis Fukuyama dalam The end of History, bahwa pertarungan di awal abad 21 dimenangkan kapitalisme yang ditandai dengan gelombang demokratisasi di hampir seluruh belahan negara-negara Amerika Latin dan Asia. Soviet yang mewakili kutub sosialisme tunduk terhadap gerakan Glassnot dan Prestorika bertemakan keterbukaan dan partisipasi publik. Singkat kata, kapitalisme—dalam pengertian sempit tentunya—telah membentuk persepsi dan cara pandang masyarakat dunia abad ini.

Di sisi lain, terdapat segelintir ilmuan baik melalui kesadaran intelektual maupun atas dasar kemanusiaan telah menunjukkan jatidiri mereka melalui pandangan dan aksi nyata di lapangan. Dengan menyebut beberapa diantara mereka, seperti Avram Noam Chomsky, Muhammad Abduh, Muhammad Yunus dan beberapa orang lainnya dalam abad ini, memiliki andil besar dalam bidang pemikiran maupun aksi sosial dalam membangun peradaban dunia. Dengan posisi filsafat (epistimology) yang berbeda, kita seakan diberi harapan besar (melalui pandangan mereka) dalam memperjuangkan masa depan dunia kearah yang lebih baik lagi. Kritikan yang dilontarkan Chomsky terhadap kebijakan politik luar negeri USA melalui karya ilmiah tentang linguistik, politik, hingga kumpulan kuliah, wawancara dan esainya, menggambarkan otokritik seorang warga negara USA yang bereputasi tinggi. Muhammad Abduh dengan pandangan-pandangan sufistik yang fleksibel melalui puisi, merubah cara pandang umat Islam yang relatif kaku (halal-haram; surga-neraka; dan sebagainya). Seakan menurutnya, Islam harus menjadi nilai, menjadi rahmat bagi sekalian alam. Ungkapannya tentang nilai-nilai keislaman yang ia temukan di negara-negara Barat, seperti tertib sosial, kesadaran berbagi antarsesama dan perilaku yang beradab (civilized) dibandingkan kondisi Timur Tengah yang relatif penuh dengan intrik dan sekularis, memberikan kesadaran transedental yang hakiki. Selanjutnya, Muhammad Yunus melalui Gramming Bank memodifkasi prinsip-prinsip dan implementasi pemikiran kapitalistik dalam kegiatan perbankan di Bangladesh. Kapitalisme di tangannya, sepertinya menyatu dengan sistem nilai yang dianut masyarakat setempat, terutama dalam mengelola ekonomi rumah tangga. Sungguh sebuah sinergi yang positif dalam membangun perekonomian dunia. 


Atas dasar kenyataan tersebut, setidaknya terdapat tiga hal penting yang dapat kita simpulkan. Pertama, tidak semua warga negara USA, memiliki pandangan yang sama dengan kebijakan pemerintahannya. Politik luar negeri berdimensi sumberdaya minyak dan nilai keagamaan (yang bersifat simbolik/permukaan saja) telah merusak tatanan politik ekonomi dunia. Seruan kepada asosiasi negara dunia (yang dimotori USA) mesti mempertimbangkan kondisi negara maju dan negara dunia ketiga termasuk penciptaan subordinasi terhadap negara-negara berkembang dalam perangkap metropolis-periferial.

Kedua, agama sebagai the rule of live mesti dipraktekkan secara substansial oleh penganutnya. Wajahnya yang penuh dengan kekerasan, doktrin-doktrin sepihak atas dasar jihad dapat ditransformasikan kedalam dialog antarsesama pemeluknya. Di Indonesia, partai-partai berlabel agama dan keinginan menjadikan agama sebagai dasar negara misalnya, hingga kini kehilangan substansinya. Ia (agama) tidak lebih merupakan sarana legitimasi atau saluran distribusi para elit menuju tampuk kekuasaan. Di masa depan, Islam nilai-lah yang akan bertahan, dan bukan Islam lembaga. 

Ketiga, Kapitalisme dan sosialisme dalam konsepsinya tidak lebih dari konstruksi epistimologis pendukungnya berdasarkan sumber nilai yang diyakininya. Pada bentuknya yang nyata, kedua ideologi—dapat dikatakan sebagai fenomena alamiah—yang merupakan sesuatu yang given; diperlukan sebagai refleksi atas capaian kualitas kebijaksanaan seseorang. Kita dapat merasakan, bagaimana hidup individualistik itu menyiksa. Sebaliknya, sama rasa-sama rata, pada taraf tertentu merusak tatanan kefitrahan manusia. Keduanya dapat disinergikan laiknya bandul jam yang melenggang kekiri-kekanan, pada akhirnya berhenti pada titik intinya. Kenyataan seperti ini, dengan fasih telah diingatkan oleh pendiri (the founding fathers) bangsa Indonesia, jauh sebelum Muhammad Yunus mendirikan Gramming Bank di Bangladesh dengan kapitalisme yang disesuaikan (compatible) dengan sistem nilai masyarakat setempat.

Kesadaran Kecendekiaan; Refleksi Sintesis Gagasan Keilmuan 

Kesadaran intelektual dipengaruhi pengalaman dan kepedulian seseorang dimana mereka berasal. Kesadaran ini memberi implikasi luas bagi kehidupan umat manusia, terutama terlihat dari karya-karya ilmuan yang berguna bagi kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang dihasilkan para ilmuan di masa lalu, bersinggungan dengan hasrat para penguasa untuk mencapai hegemoni di dunia internasional. 

Pada saat yang sama, Chomsky dalam artikelnya banyak mengkritik peran para ilmuan USA dalam kegiatan politik luar negeri negara tersebut. Meskipun secara positif, IPTEK telah memberikan manfaat besar bagi kegiatan politik, namun di sisi lain, ia berubah menjadi malapetaka bagi masyarakat dunia di belahan negara lainnya. Sifat dari IPTEK itu sendiri adalah bebas nilai (free value) dan tergantung motif dan orientasi penggunanya. Dalam konteks ini, diperlukan suatu cara pandang baru dalam memanfaatkan perkembangan IPTEK yang begitu cepatnya.

Cara pandang baru tersebut, berkaitan dengan gugatan etis atas dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan IPTEK bagi segelintir ataupun kelompok tertentu. Contoh yang paling mutakhir saat ini, misalnya teori pertumbuhan ekonomi dan teori trickle down effect (penetesan kebwah) sebagai akibat dari pemusatan kegiatan pemerintahan dan pembangunan (ekonomi) di suatu wilayah. Khusus untuk teori pertumbuhan ekonomi, pada 32 tahun yang lalu diyakini betul oleh Orde Baru (yang disokong ekonom Indonesia alumni Berkeley University) sebagai satu-satunya cara ampuh membangun perekonomian Indonesia setelah carut-marut politik dan kolapsnya perekonomian di masa Orde Lama. Investasi di pulau Jawa difasilitasi oleh pemerintah (saat itu) termasuk menggunakan modal asing (PMA) guna membiayai pembangunan ekonomi Indonesia. Singkat kata, dalam perkembangannya, keyakinan politik ORBA tersebut melahirkan ketimpangan pembangunan yang sangat lebar antara wilayah kawasan barat Indonesia (KBI) dan kawasan timur Indonesia (KTI). Begitu juga dengan pemanfaatan modal materialistik semata, dianggap dapat menciptakan akumulasi kapital bagi perkembangan perekonomian negara. Dengan demikian, ketergantungan Indonesia terhdap modal luar negeri sangatlah tinggi. Perekonomian Indonesia menjadi sangat rentan dengan fluktuasi perkembangan ekonomi dunia. 

Teori modal sosial menempatkan dirinya sebagai cara pandang baru dalam mengatasi krisis capital yang dihadapi perekonomian. Teori ini, terutama di negara-negara sedang berkembang, merefleksikan kemampuan masyarakat lokal menggunakan nilai-nilai yang bersumber dari local wisdom dan otoritas lokal, sebagai modal alternatif di tengah kebuntuan tidak tersedianya modal material. Wilayah-wilayah yang terisolir dari pusat-pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, hidup dalam kesahajaan dan menjadikan saling percaya (trust) diantara sesama serta kegotong-royongan sebagai strategi ampuh dalam bertahan hidup (strategy livelihood system). Pada gilirannya, keserakahan yang terefleksi dari kegiatan pembangunan berorientasi pertumbuhan ekonomi semata—yang cenderung merusak lingkungan, merusak kohesi sosial (individualistik), bahkan menghasilkan ketimpangan ekonomi (pendapatan) yang lebar antarmasyarakat—dapat dieliminir. Teori ini, setidaknya menghasilkan solusi baru di tengah kebuntuan (deadlock) aplikasi teori-teori pembangunan eropasentris dalam dinamika pembangunan sosial ekonomi masyarakat lokal. Sampai pada titik ini, IPTEK mengalami perkembangan yang luar biasa. Seakan memunculkan tesis baru (antitesis), paradigma baru ini melahirkan keyakinan (untuk tidak dibilang kebenaran) ilmiah baru dan menempatkan teori lama sebagai paradigma yang keliru. Begitulah kira-kira dialektika konseptual IPTEK, selalu menghasilkan dialektika seperti yang diyakini Thomas Kuhn.

Bogor, Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar